Selasa, 30 Mei 2017

Menjadi Istri dan Ibu





(Sederet wajah Nurvati Indriani tahun 2014, 2015, 2016 dan 2017)

Setiap perempuan memiliki peran sebagai anak, menantu, istri dan ibu. Dan di usia yang ke-21  tahun saya menyadari kelak saya akan memiliki mertua, suami dan anak. Untuk sampai ke sana, bukan dengan jalan yang mudah namun melalui jalanan yang terjal, panjang dan berliku. Karena itu saya mempersiapkan diri saya sedini mungkin sebelum masa itu tiba. 

Sebagai perempuan sudah saya kodrat saya. Dengan dua payudara yang melekat di dada saya dan vagina yang berada di selangkang saya. Saya sudah tahu fungsi keduanya yang menjadi pembeda kodrat laki-laki dan perempuan. Lewat vagina, saya diajari sadar dengan keluarnya cairan haid tiap bulannya bahwa di dalam tubuh saya terdapat rahim. Di sana kelak, anak-anak saya akan memulai kehidupan pertamanya sebelum Tuhan menerjunkannya ke bumi. Artinya lewat organ itu saya disadarkan, " di sini tempat kali pertamamu berjuang menjaga dan mendidik anakmu sebelum akhirnya kau taruhkan nyawamu melahirkannya lalu mendidiknya sebagai generasi yang bijak dan sadar tugasnya sebagai khalifah di bumiNya".  Lewat payudara saya disadarkan di sana tempat anak-anak saya mendapat nutrisi melalui ASI yang berpengaruh besar pada kecerdasan otaknya. Singkatnya, kedua organ itu harus dijaga betul dan hati-hati. 

Sebagai perempuan dewasa awal, saya menyadari segala keterbatasan saya, ketidakmampuan saya, ketidakcerdasan saya, kekanak-kanakan saya dan ketergantungan saya pada orangtua. Sungguh saya ingin segera lepas dari bergantung hidup dengan orangtua, namun saya masih belum memiliki modal. Saya menyadari semua hal hingga saya ingin belajar lagi dan lagi agar kelak bisa dibanggakan sebagai anak, istri, ibu dan menantu. 

Kalian tahu, kapan hari saya mendaftar ketidakmampuan saya yang sungguh banyak. Saya merasa kerdil. Sayapun lalu menghubungi teman-teman saya. Eh...aku minta tolong ajari ini dong, ajari itu dong. Aku ingin bisa ini, bisa itu. Dan bersyukurnya teman-teman saya mau mengajari. Alhamdulillah. Saya ingin membuat hadiah dari buah karya saya sendiri. Saya menghubungi teman saya yang bisa merajut, bisa membuat bouqet bunga dari bahan flanel, bisa menjahit, bisa membuat box foto, dan lain-lain. 

Sebenarnya bulan lalu, Mbak kostnya mengajak saya ikut kursus di UPN. ada kursus menjahit, memasak, merias, bahasa Inggris, komputer, akuntansi dan lain-lain. Karena saya berpikir pendek, saya memutuskan tidak mengikuti meski ingin sekali. Alasannya, saya kerja reporter dan kesibukan reporter itu luar biasa. Kalau saya ambil kursus maka bisanya ikut kelas malam, lalu bagaimana dengan tugas-tugas kuliah saya. Belum lagi Juli kepotong 3 minggu untuk KKN. Subhanallah... Jadi saya memutuskan tidak mengikuti. 

Saya membacai banyak literatur dan punya beberapa buku tentang perempuan sholilah, istri idaman, parenting dan lain-lain. Aih...saya pasti gila sekarang. lulus S1 saja belum, sudah membacai hal itu. Tentu jika ditanya alasan, maka jawabannya "saya ingin belajar dan mempersiapkannya dari sekarang sehingga ketika jodoh saya datang menjemput saya punya bekal yang mapan dan bisa jadi istri yang dibanggakan".

Kapan hari saya dimintai tolong Mbak kost saya menemani dia ke lokasi penelitiannya. Di sana saya mendapati dua narasumber, perempuan semua dengan latar ekonomi berbeda. Dan tentu bisa ditebak alurnya gimana. Yang sederhana jauh lebih luwes dan ramah dibanding yang kaya. Hahaha. Sungguh, saya tidak ingin jadi perempuan (ibu rumah tangga kaya) macam narasumber yang kedua. Saya tidak mau menganggap remeh dan merendahkan orang lain. Saya sudah diajari menghormati orang apapun lapisan sosialnya, apapun profesinya, apapun perilakunya. Masa' iya saya melakukan itu. Saya tidak mau.Sekaya apapun saya kelak (amin), saya tidak mau merendahkan orang lain. Saya akan mengajari anak-anak saya cara menghormati orang lain apapun lapisan sosial, latar pendidikan, latar budaya dan ekonominya. 

Jika ditanya, untuk masalah pekerjaan sederhana rumah tangga kamu sudah mumpuni belum. Maka saya mulai meraba diri saya. Kalau masalah nyapu, ngepel, nyetrika, cuci baju, cuci perabotan, bercocok tanam dan merawat tanaman dll saya sudah bisa. Nah...kalau masak itu yang masih sangat harus belajar. Karena saya merasa tidak banyak bisa membuat aneka masakan, karena itu harus belajar lagi dan lagi. Cara yang bisa saya lakukan adalah membeli tabloid, buku resep masakan dan mulai belajar memasak. Tak lupa saya menghubungi teman saya dan mbak kost yang pintar make up, hanya untuk belajar make up dan merawat diri. mbak kost saya juga pintar desain baju dan menjahit, sayapun ingin belajar darinya. Wah....ternyata jadi istriable itu tidak mudah ya? Semoga kelak suami saya tahu bagaimana saya berjuang dari nol untuk jadi istri yang baik untuknya. 

Well, selain urusan rumah tangga, memasak, sayapun mulai meraba kemampuan saya yang lain. Hal yang pertama saya raba adalah pengetahuan tentang agama. Hmmmm....Sungguh saya bukan perempuan yang teramat baik. Masih banyak dosa, salah dan khilaf yang saya lakukan. Saya mengingat pelajaran mengaji dari umur 3 tahun (yang alhamdulillah sudah lancar baca Qur'an) - kuliah (tapi ini parah. sertifikat mengajarku jadi guru tilawah ditangguhkan entah sekarang dibawa siapa). Padahal belajar ngaji tilawah tidak mudah loh. Aih...panitianya kam to the pret kok. Menyoal ngaji, karena saya ngajinya di desa, saya sudah paham beberapa versi metode ngaji mulai dari ala kadar, qiroati sampai tartila. Hahaha. Saya mengaji qiroati hanya sekitar 3 tahun, setelahnya pindah ke tartila meski saya masih sangat paham dan hafal nada-nadanya qiroati. But, tartila lebih halus. Karena lokasi TPQ yang terpencil di Guci, akhirnya banyak yang tidak tahu seperti apa tartila itu. Saya pernah jadi santri-guru juga. Kalau ikut pelatihan dan pembinaan guru ngaji selalu dipanggil Ustadzah, tapi sekarang kalau dipanggil gitu merinding juga. Wong kerudung aja mulai sering lepas padahal dulu saat jadi guru ngaji nggak pernah lepas saat keluar rumah. Saya ingat waktu SMA pernah melepas kerudung adalah saat praktek tari karena pakai kostum tari, dan waktu liburan di Bali yang membuat saya kena tegur dan jewer dari Bapak. Untuk TPQ tempat saya belajar sekaligus mengajar, saya akan mengupayakannya memiliki nama. Tidak hanya Sury* dan Dut* Masyarak** tapi juga beberapa media lain. Masa' bantu teman-teman bisa, bantu TPQ sendiri tidak bisa? Hehehe. 

Kalau masalah sekolah dari TK-Kuliah ya gitu-gitu saja. Biasa saja. Hanya saja beberapa kali jadi juara kelas tapi kalau pengalaman lebih tidak juga. Saya hanya pernah terlibat aktif di beberapa kegiatan organisasi, kepenulisan dan kepramukaan. Itu saja. Aih...kalau ingat kepenulisan jadi ingat Bapak. harusnya saya belajar darinya. Tapi tak apalah, toh Bapak kini bisa melihat perkembangan kemampuanku. Meski tak diajarinya aku mampu. Mungkin inilah saatnya praktek dulu baru belajar berbenah. Terima kasih untuk Harian Pagi Sury* dan Mbak/Ibu editor yang luar bisa baik mendidik saya lewat tulisan saya sendiri yang diedit. Hahaha. 

Aih...saya malu. Banyak tahu tapi minim pengalaman. Harusnya saya bisa bebas berkelana macam Kholiq yang menaklukkan gunung demi gunung. Hahaha. Ditambah dengan kemampuan menulis saya kan saya bisa masuk majalah Jatim Trave* Guid* dan langganan masuk rubrik Cipo, Digima* dan You Ge* nya Sury*. Oh tidak itu saja, masuk di Jawa Po* juga mudah kalau saya yang melakukan sendiri. Nah...beda cerita kalau saya menuliskan kisah orang lain, maka cukup dan harus puas bagi saya mendapati nama dan wajah terpampang di koran. Hihihi. 

Sewaktu dengan Kholiq beberapa minggu lalu sempat saya memiliki pikiran, kalau dia sempro, sidang dan wisuda enaknya ngasih kado apa ya. Nah...saya tidak mau memberi hadiah yang bisa dengan mudah dibeli di toko. Saya ingin membuatnya sendiri dari kreativitas dan kemampuan saya. Dulu sempat terpikir kalau dia sempro maka saya akan memberinya buket bunga dan photo box dengan hiasan yang ditata cantik. Kalau dia sidang, saya akan membawakan dia makanan kesukaannya hasil buatan saya sendiri dan benda rajutan. Kalau dia wisuda, saya ingin membawakannya novel karya saya (karena saya punya kenalan penerbit dan sudah tahu gimana cara menerbitkan buku) dan membawakannya kemeja yang saya buat sendiri. Hahahaha. Tapi itu ilusi. Kan sudah....Aih pokonya gitulah. ya...mungkin saya akan tetap memberikannya hadiah entah merupa apa yang jelas saya ingin membuatnya sendiri dengan tangan saya. Setidaknya meski tak mahal, ia bisa menghargai jerih payah saya membuatnya. Tapi tidak sebanyak rencana awal tadi. Rencana awal digagalkan karena sesuatu hal dan saya harus segera menuntaskan skripsi lalu menentukan langkah ke depan. Menurut saya, kalau beli kan tinggal lihat uangnya berapa, nah kalau buat sendiri sejelek apapun itu, mahal nilainya. Hmmmm...

Aih...untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik itu harus dipersiapkan sejak dini dan saya tengah belajar untuk itu. Saya mulai bertanya-tanya pada teman saya yang apoteker tentang obat, teman yang pintar ini itu untuk kemudian minta diajari. Semua itu saya lakukan agar saya bisa menjadi sosok istri dan ibu yang dibanggakan, dicintai dan selalu dirindukan. Wkwkwkw. Kapan hari Kholiq bilang, "Kamu pintar, tapi aku tidak mau melihat kamu pintar di satu atau dua bidang saja". Mak Jleb rasanya. Itu tamparan di atas tamparan tapi yang dikatakannya benar juga sih. Oh My God, jadi istri dan ibu loh nggak mudah, kok teman-temanku pada ngebet nikah? 

Saya pikir, setinggi apapun gelar yang saya sandang, setinggi apapun jabatan yang saya miliki, sebanyak apapun ilmu yang saya kuasai bila saya tidak bisa melakukan hal terbaik untuk anak dan suami saya kelak, maka sia-sia itu saya miliki. Saya ingin segala sesuatunya imbang. Karena itu kenapa saya ingin di rumah saya kelak ada perpustakaan dan ruang kedap suara. Saya ingin membudayakan literasi dan seni di keluarga saya. Karena itu adalah kunci kecerdasan dan kepekaan pada lingkungan sekitar. Dan tentu saya ingin membebaskan memilih pada anak-anak saya. Saya ingin mereka memilih sendiri apa yang dimaui, tugas saya hanya menggawangi dan menjelaskan resiko atas pilihannya. Saya sudah sangat paham rasanya bagaimana keinginan dan kehendak dibatasi, saya tak mau anak saya kelak mengalaminya. Mereka berhak hidup merdeka namun tetap sadar bahwa mereka seorang anak yang harus berbakti pada orangtua. 

Menyoal suami, saya kan belum tahu dapat jodoh yang seperti apa. Harapan saya sederhana, semoga ia mampu memahami pikiran holistik dan gerak impulsif saya. Karena saya orang yang cerewet akibat tukang tanya kayak dora, pantesan jadi wartawan. Hahaha. Ide di kepala saya kadang keluarnya tak terduga, jadi dia bisa mengontrol perilaku saya ketika ide-ide di kepala membuat rumit gerak saya. Sungguh saya tidak ingin suami yang gimana-gimana, yang jelas dia mencintai saya dengan ADIL, bersedia kerja sama, bersedia memahami segala kekurangan saya, dan bersedia lainnya. Hahaha. Karena sebagai perempuan yang kelak diperistri, saya juga mempersiapkan itu. Maka itu, hai jodohku entah kamu di antah berantah mana. "Ketahuilah saat ini aku tengah berjuang menjadi sebaik-baik perempuan yang beruntung kaumiliki kelak sebagai istri dan ibu dari anak-anakmu". Aih...


Surabaya, 31 Mei 2017

Di penghujung mei, di penghujung harapan saat skripsi mulai ditagih dan segala sesuatu mendesak mulai dari PKL, KKN, dan lainnya. Semoga bisa lulus S.S dan wisuda pada tanggal 24 Maret 2018. Amin....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The Journey of Nurva & Bams Part.1

Hi Teman Nurva Mungkin benar bahwa semesta selalu punya cara memisahkan dan mendekatkan dua orang yang tak berjodoh dan berjodoh. Pengalaman...