"Agar
bisa menanjak di dunia ini, kau harus menjadi sarjana. Dan begitulah ceritanya
sehingga dunia kehilangan banyak petani, pembuat roti, pedagang barang antik,
pemahat, dan penulis hebat "
_Paulo Coelho_
.
.
Maafkan
kami generasi yang hidup di dunia kapitalis, yang mengungkung kesuksesan kami
sebatas material dan kami dituntut mendapatkannya secepat dan
sebanyak-banyaknya. Kami kehabisan waktu untuk berkreasi, karena kabarnya
kreasi kami tak bikin perut kenyang dan menjanjikan masa depan yang gemilang. Ah..sudahlah..kami
hanya ingin berpasrah pada kapitalisme yang mencekik kehidupan kami. Tak ada
waktu bagi kami memikirkan sawah dan ladang, karena dijual ke investor asing
lebih menjanjikan atau kalau tidak begitu, kami bangun kos-kosan saja, banyak
orang butuh tempat tinggal. Kami juga tak ada waktu membuat roti apalagi
jajanan tradisional, tanah kami sudah dikuasai asing. Mereka mengeruk tanah
kami hingga zat-zat hara yang baik untuk calon tanaman kami terkikis. Suatu
ketika kami takkan bisa bertanam gandung, padi, ketan, jagung, ketela pohon dan
ketela rambat. Bahkan pernah kami dengar kabar burung, katanya lahan kami akan
dijadikan jalan tol, supaya lalu lintas para pemilik modal lancar jaya. Sedang
kami tak tahu, cerita lisan atau kearifan lokal apa yang kelak bisa kami
ceritakan jika hal itu terjadi. Kami sedih...tapi tidak ada yang mau peduli.
.
.
Kami
sudah tak sanggup menjadi pedagang barang antik, karena mereka lebih suka
barang-barang brandit dari luar negeri, Barang antik kami pada akhirnya tersemayamkan
di museum berteman debu, yang kelak akan dikunjungi anak cucu kami untuk
berswafoto lalu diunggah di sosial medianya dengan tulisan, "yeeey...aku
sedang ke museum, belajar mengenal benda-benda antik dan unik warisan nenek
moyang yang harus kita lestarikan. Aku sudah berkunjung ke museum loh,
kamu?". Segera saja like dan comment berjejalan di akun sosial medianya,
ada yang mengungkapkan rasa bangganya karena dia peduli pada benda-benda antik
warisan nenek moyang, ada pula yang bertanya dapat fasilitas apa jika datang ke
museum. Ah..sungguh keterlaluan sekali. Padahal dia ke sana hanya sebatas foto
dengan pose terbaik Ia bahkan tak membacai keterangan benda-benda tersebut. #miris.
.
.
Kami juga
tak sanggup menjadi pemahat, pelukis dan penulis hebat. Proses kreatifnya memakan waktu lama,
sedang kami berada di dunia yang serba cepat, yang terkadang membuat kami sesak
bernafas. Tidak mungkin lah kami mau menyulitkan diri membuat patung yang
minimal memakan waktu 3 bulan, sedang perut kami keroncongan. Tidak mungkin lah
kami mau keliling lembah, sungai, hutan, gunung dan laut hanya untuk mencari
inspirasi melukis. Tidak mungkin lah kami ada waktu riset dan membacai banyak
buku untuk bahan tulisan, sedang plagiasi itu enaknya tak tertahankan. Udah
murah, mudah, cepat lagi. Maka jangan heran ketika skripsi, tesis atau
disertasi kami berdebu di ruang perpustakaan. Mau bagaimana lagi, kami dituntut
serba cepat jadi melihat penelitian kakak tingkat, lalu mengambil sumber data
penelitian yang berbeda, kami lakukan. Lagi-lagi itu semua karena kebijakan
kapitalis di era disrupsi yang membuat kami sedikit meringis;empat tahun, dua
tahun dan tiga tahun tersita untuk karya ilmiah yang tak bisa memberi
kontribusi bagi negeri. Malah kertas-kertas karya ilmiah kami menggerus habis
pohon-pohon di bumi. Kami serakah, maafkan kami. Ekosistem terganggu,
lingkungan makin hari makin rusak itu ulah kami. Tapi maaf...kami enggan
mengakuinya. Kami enggan disalahkan, karena ini ulah bersama yang diturunkan
dari generasi-generasi serakah sebelum kami.
.
.
Maka di
ujung tulisan ini, maha benar manusia dengan keserakahannya. Kita semua
serakah. Kita semua penghasil sampah. Kita semua membuat bumi penuh sesak dan
lingkungan tercemar limbah dan polusi, karena kita sibuk berebut titel dan
mengumpulkan harta dengan menyikut sana-sini, menyakiti alam dan sesama, bahkan
membuat sedih semesta. Sebenarnya, tugas kita sebagai manusia itu untuk menjadi
khalifah di bumi yang membawa kedamaian, atau menjadi penjahat yang membawa
kerusakan?
.
.
Tulisan
Nurva
Surabaya,
11 Juli 2019 pukul 11.25 WIB
di
Perpustakaan Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa.